Kerajaan Hulu Aik: Warisan Sejarah dan Nilai Tradisi Kerajaan Dayak di Kalimantan Barat

 

Kerajaan Hulu Aik: Warisan  Sejarah dan Nilai Tradisi Kerajaan Dayak di Kalimantan Barat
Artefak dan peninggalan sejarah Kerajaan Hulu Aik. Dokumentasi: Thomas Tion.

Penelitian oleh: Masri Sareb Putra dan Thomas Tion

Tanggal rilis: 5 Juni 2025


1. Pendahuluan

Penelitian sejarah merupakan upaya sistematis untuk memahami masa lalu melalui penggalian fakta-fakta historis yang didukung oleh bukti konkret. Agar sebuah peristiwa dapat dikategorikan sebagai sejarah, terdapat empat unsur yang harus dipenuhi, yaitu: tokoh (siapa pelaku sejarah), peristiwa (apa yang terjadi), latar waktu dan tempat (kapan dan di mana), serta bukti sejarah (seperti artefak, inskripsi, keramik, atau saksi sejarah).


Penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi eksistensi Kerajaan Hulu Aik di Kalimantan Barat sebagai entitas sejarah yang sah. Verifikasi dilakukan melalui pengkajian terhadap tokoh, peristiwa, latar tempat dan waktu, serta bukti sejarah. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis tradisi Meruba sebagai warisan budaya yang masih hidup hingga kini.


2. Latar Belakang Sejarah Kerajaan Hulu Aik

Kerajaan Hulu Aik berlokasi di Laman Sengkuang, hulu Sungai Pawan, Desa Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Dayak yang telah berdiri sejak abad ke-4 Masehi. Dalam perjalanan sejarahnya, kerajaan ini telah dipimpin oleh 51 raja secara turun-temurun.


Raja Singa Bansa, pemimpin saat ini, merupakan raja ke-51 sekaligus satu-satunya raja non-Muslim di Kalimantan. Hal ini menjadikan Kerajaan Hulu Aik sebagai simbol keberagaman budaya dan kepercayaan di kawasan tersebut. Wilayah kekuasaan Kerajaan Hulu Aik pada masa jayanya meliputi Kabupaten Ketapang, sebagian Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Kubu Raya, menunjukkan luasnya pengaruh kerajaan ini.


3. Tokoh-Tokoh Penting

Petrus Singa Bansa (Raja Ulu Aik ke-51) dan Alexander Wilyo, Patih Jaga Patih dari Desa Sembilan Domong Sepuluh.


Salah satu indikator keabsahan nilai historis suatu entitas budaya terletak pada pembuktian eksistensi dan peran signifikan tokoh-tokoh sentral dalam narasi sejarahnya. Dalam konteks Kerajaan Hulu Aik, keberadaan figur-figur utama tidak hanya memperkuat validitas historis kerajaan, tetapi juga merepresentasikan kesinambungan warisan budaya yang hidup (living heritage).


Tokoh utama yang menonjol dalam sejarah kontemporer Kerajaan Hulu Aik adalah Raja Singa Bansa. Ia memainkan peran strategis sebagai simbol kontinuitas kekuasaan adat sekaligus sebagai agen pelestari nilai-nilai budaya lokal. Melalui kepemimpinannya, berbagai praktik adat dan ritual tradisional seperti Meruba dapat terus berlangsung dan diwariskan lintas generasi.


Selain raja, sosok Patih Jaga Pati Alexander Wilyo juga menempati posisi penting dalam struktur sosial-budaya masyarakat Dayak. Dikenal sebagai Patih Jaga Pati dari "Desa Sembilan Domong Sepuluh", ia berperan aktif dalam menjaga, melestarikan, dan merevitalisasi adat istiadat Dayak, baik dalam praktik sehari-hari maupun dalam konteks advokasi kebijakan kebudayaan. Keberadaan kedua tokoh ini memperkuat argumentasi bahwa Kerajaan Hulu Aik bukan hanya entitas historis, tetapi juga institusi budaya yang masih memiliki daya hidup dan relevansi dalam tatanan masyarakat masa kini.


Tokoh adat lain seperti Ucit (Sutaragi Kerajaan Hulu Aik), Yohanes (Domong Mantir), dan Raden Cendaga Pintu Bumi Alexander Wilyo turut memperkuat struktur kepemimpinan serta pelestarian budaya kerajaan.


4. Peristiwa Sejarah: Upacara Meruba sebagai Living Tradition

Upacara Meruba, yang dilaksanakan setiap tanggal 25 Juni, merupakan manifestasi dari keberlanjutan tradisi sakral yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh Kerajaan Hulu Aik. Dalam perspektif antropologi sejarah, Meruba tidak hanya berfungsi sebagai ritual pembersihan pusaka, tetapi juga sebagai medium simbolik untuk merawat ingatan kolektif, menjaga legitimasi kekuasaan raja, serta menegaskan identitas budaya Dayak dalam konteks keberadaan kerajaan tradisional di tengah negara modern.


Ritual ini dipimpin langsung oleh Raja Singa Bansa, memperlihatkan relasi erat antara kepemimpinan adat dan spiritualitas. Prosesi ini dilakukan secara khusyuk di ruang situs pusaka, sebuah ruang sakral yang berfungsi sebagai pusat kosmos budaya kerajaan. Artefak-artefak utama seperti Bosi Koling (keris kecil bersejarah), Tungkat Rakyat (tongkat ulin simbol kekuasaan), Piring Pemali, Jangka Damar, Batu Udang, Batu Buntal, Puntung Berasap, dan Tempayan Pemandik, dibersihkan menggunakan minyak kelapa khusus. Minyak ini memiliki makna ganda: secara fisik sebagai pembersih, dan secara spiritual sebagai penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib.


Kehilangan dua pusaka, yakni Batu Beranak dan Kain Kelambu Potong, membuka wacana baru dalam kajian sejarah budaya: bagaimana hilangnya artefak dapat dimaknai bukan hanya sebagai kehilangan fisik, tetapi juga sebagai sinyal pergeseran nilai dan dinamika perubahan sosial dalam masyarakat adat.


5. Setting Waktu dan Tempat: Penegasan Konteks Sejarah

Kerajaan Hulu Aik telah eksis setidaknya sejak abad ke-4 Masehi, sebagaimana ditunjukkan oleh narasi lisan yang konsisten, artefak budaya, serta silsilah kerajaan yang terjaga. Pusat kekuasaan terletak di Laman Sengkuang, wilayah strategis di hulu Sungai Pawan, Desa Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.


Dalam kajian sejarah lokal, posisi geografis kerajaan di hulu sungai mencerminkan pola umum pemukiman masyarakat Dayak yang mengandalkan sungai sebagai urat nadi kehidupan dan peradaban. Wilayah kekuasaan yang mencakup sebagian besar Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, Sanggau, dan Kubu Raya, menunjukkan luasnya pengaruh politik dan budaya kerajaan ini. Upacara Meruba yang berlangsung setiap 25 Juni memperkuat dimensi kronologis kerajaan, menunjukkan kesinambungan temporal yang tidak terputus.


6. Bukti Sejarah: Kombinasi Artefak dan Validasi Negara

Validitas historis Kerajaan Hulu Aik tidak hanya ditopang oleh keberadaan artefak pusaka, tetapi juga oleh pengakuan formal dari negara. Artefak seperti Bosi Koling, Tungkat Rakyat, dan Piring Pemali memiliki nilai material dan simbolik tinggi dalam antropologi sejarah. Kehadirannya di situs pusaka menunjukkan praktik pelestarian berbasis komunitas yang konsisten, sekaligus menghidupkan teori living archive dalam konteks lokal.


Hal yang lebih signifikan adalah adanya surat keputusan resmi pemerintah Republik Indonesia yang mengakui Raja Singa Bansa sebagai raja ke-51 Kerajaan Hulu Aik. Ini merupakan bentuk validasi institusional yang langka terhadap sistem kerajaan adat di era modern. Di samping itu, keberadaan simbol-simbol seperti piring penunduk taring todung dan tepayan pemungkam lidah hantu, yang digunakan oleh Patih Jaga Pati, memperkaya narasi budaya dan mempertegas dimensi spiritual dari sistem kepemimpinan kerajaan.


7. Relasi dengan Negara: Simbiosis Adat dan Modernitas

Hubungan antara Kerajaan Hulu Aik dan pemerintah Indonesia dapat dipahami sebagai bentuk simbiosis antara adat dan negara. Pengakuan negara terhadap Raja Singa Bansa, serta dukungan terhadap pelaksanaan upacara adat seperti Meruba, menjadi contoh konkret pelaksanaan Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.


Dari sudut pandang ilmu politik dan kajian budaya, hubungan ini merepresentasikan model integrasi tanpa asimilasi: kerajaan tetap mempertahankan identitasnya, tetapi secara sadar menjalin kerja sama dengan struktur negara. Kerja sama ini tidak hanya terbatas pada aspek budaya, tetapi juga meluas pada pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, dengan pendekatan berbasis kearifan lokal.


8. Masa Depan Kerajaan Hulu Aik

Kerajaan Hulu Aik memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya. Hal ini akan memperluas promosi kebudayaan Dayak ke tingkat nasional dan internasional. Dengan dukungan pemerintah dan kesadaran masyarakat lokal, pelestarian tradisi dan budaya kerajaan dapat terus dijalankan.


Tantangan utama seperti hilangnya beberapa pusaka perlu dihadapi dengan strategi pelestarian yang lebih ketat. Komitmen dari Raja Singa Bansa dan Patih Jaga Pati memberikan jaminan bahwa upacara Meruba dan nilai-nilai budaya lainnya akan terus diwariskan kepada generasi mendatang.


9. Kesimpulan

Kerajaan Hulu Aik merupakan bukti nyata keberlanjutan sejarah dan kebudayaan Dayak di Kalimantan Barat. Keberadaan tokoh sejarah, peristiwa penting, latar waktu dan tempat yang jelas, serta bukti sejarah yang konkret menjadikan kerajaan ini sebagai entitas sejarah yang sah.


Tradisi Meruba, kepemimpinan Raja Singa Bansa, dan peran Patih Jaga Pati menunjukkan dedikasi tinggi dalam melestarikan budaya lokal. Hubungan yang harmonis dengan pemerintah dan potensi pengembangan pariwisata budaya menjadikan Kerajaan Hulu Aik sebagai penjaga warisan budaya yang terus hidup dan menginspirasi.



Referensi

Wawancara mendalam dengan Petrus Singa Bansa.

Wawancara mendalam dengan Alexander  Wilyo.

Putra, Masri Sareb dan Thomas Tion. 2024. Sumpah Kedaulatan Dayak: Patih Jaga Pati Raden Cendaga Pint Bumi Jaga Banua Alexander  Wilyo. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.

Sumber digital:

Singa Bansa, Raja Ulu Aik ke-51 : Bukti Raja Lokal Punya Wlayah dan Punya Tanah: https://www.patihjagapati.id/2023/02/singa-bansa-raja-ulu-aik-ke-51.html

Kerajaan Hulu Aik: Menjaga Warisan, Memelihara Tradisi: https://www.patihjagapati.id/2023/09/kerajaan-hulu-aik-menjaga-warisan.html



Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama