Peneliti: Agustinus Tamtama, M.Hum. dan Masri Sareb Putra, M.A.
Lokasi Penelitian: Kecamatan Sandai dan Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat
1. Latar Belakang
Kabupaten Ketapang yang membentang seluas 35.809 km² di bagian selatan Borneo menjadi rumah bagi berbagai kelompok etnis, salah satunya adalah komunitas Dayak Krio. Tersebar terutama di Kecamatan Sandai dan Hulu Sungai, masyarakat adat ini mempertahankan warisan budaya mereka yang erat kaitannya dengan sungai dan hutan.
Di tengah tantangan modernisasi, identitas dan tradisi Dayak Krio perlu diangkat, didokumentasikan, dan diperkuat untuk keberlanjutan masa depan.
2. Tujuan Penelitian
-
Menggambarkan keberadaan dan distribusi pemukiman Dayak Krio di sepanjang sungai-sungai utama Ketapang.
-
Mengkaji hubungan antara sungai dan identitas Dayak Krio sebagai masyarakat adat.
-
Menganalisis dinamika sosial dan tantangan yang dihadapi masyarakat Dayak Krio di era modern.
-
Menyajikan bentuk-bentuk pelestarian budaya yang masih berlangsung hingga saat ini.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan pendekatan etnografis. Pengumpulan data dilakukan melalui:
-
Studi pustaka, menggunakan karya Agustinus Tamtama Putra sebagai sumber utama.
-
Observasi lapangan terbatas ke desa-desa: Sepanggang, Mariangin, dan Sengkuang.
-
Wawancara mendalam (terstruktur dan semi-terstruktur) terhadap tokoh adat dan warga komunitas.
-
Pemetaan geokultural wilayah permukiman dan sungai yang menjadi pusat kehidupan Dayak Krio.
4.4 Dinamika Sosial dan Tantangan Zaman
Komunitas Dayak Krio tidak terlepas dari arus perubahan sosial yang mengalir deras seiring perkembangan zaman. Di luar wilayah inti budaya seperti Sepanggang, Mariangin, dan Sengkuang—yang dapat disebut sebagai benteng terakhir pelestarian adat Dayak Krio—berlangsung dinamika sosial yang kompleks dan penuh tantangan. Fenomena ini terjadi dalam berbagai dimensi, mulai dari pergeseran budaya, perubahan keyakinan, tekanan ekonomi, hingga interaksi multietnis yang membentuk tatanan baru dalam kehidupan masyarakat.
4.4.1 Interaksi Sosial dan Perubahan Identitas
Interaksi antar etnis, khususnya dengan masyarakat Melayu dan kelompok-kelompok pendatang dari luar Kalimantan Barat, telah membuka ruang integrasi yang luas namun juga berdampak pada transformasi identitas budaya. Salah satu bentuk nyata dari proses ini adalah perpindahan agama sebagian orang Dayak Krio ke Islam, terutama melalui jalur perkawinan. Proses ini tidak hanya mengubah aspek kepercayaan, tetapi turut memengaruhi pola konsumsi, hubungan sosial, hingga cara pandang terhadap adat dan tradisi.
Konversi agama kerap diikuti dengan adopsi identitas budaya baru yang lebih dekat dengan budaya Melayu dominan. Istilah “Nyaga”, meskipun secara etimologis netral, telah mengalami konotasi peyoratif dalam konteks lokal, merujuk pada orang Dayak yang telah beralih agama dan tidak lagi mengikuti praktik adat seperti konsumsi daging babi atau ritual panen. Istilah ini menjadi penanda adanya garis pembeda sosial dan budaya, sekaligus memperlihatkan adanya ketegangan identitas antara mereka yang memilih jalan pelestarian adat dan mereka yang mengalami proses asimilasi.
4.4.2 Urbanisasi dan Ekspansi Ekonomi
Pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dan ekspansi industri seperti perkebunan kelapa sawit membawa konsekuensi besar terhadap tatanan kehidupan orang Dayak Krio. Banyak lahan adat yang dulu merupakan hutan keramat dan sumber pangan perlahan berubah fungsi menjadi area produksi industri. Perubahan tata guna lahan ini berdampak langsung pada keberlangsungan sistem pertanian tradisional berbasis ladang berpindah dan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal.
Urbanisasi menjadi arus kuat yang mendorong generasi muda Dayak Krio untuk meninggalkan kampung halaman dan merantau ke kota, termasuk ke Ketapang, Pontianak, bahkan keluar Kalimantan. Ketika kembali, mereka membawa nilai-nilai baru yang kadang sejalan, namun seringkali berbenturan dengan norma adat yang diwariskan. Mobilitas ini menciptakan ketegangan antara modernitas dan tradisi, antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian identitas budaya.
4.4.3 Pelestarian versus Asimilasi
Ketegangan antara pelestarian dan asimilasi menjadi medan tarik-menarik yang menentukan masa depan budaya Dayak Krio. Sementara sebagian masyarakat memilih untuk menjaga warisan leluhur secara ketat di desa-desa adat, sebagian lainnya menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan sistem sosial yang lebih luas. Di tengah realitas ini, muncul pertanyaan krusial: bagaimana menjaga keberlanjutan identitas budaya tanpa mengorbankan keterlibatan dalam pembangunan nasional dan akses terhadap kesejahteraan?
Beberapa inisiatif lokal mulai muncul sebagai jawaban atas tantangan ini. Misalnya, pendokumentasian cerita rakyat, mitos asal-usul, dan ritual adat dalam bentuk buku dan video. Kegiatan budaya seperti pesta panen, pameran kerajinan tangan, dan pentas tari juga digiatkan kembali, tidak hanya sebagai bentuk ekspresi budaya, tetapi juga sebagai upaya ekonomi kreatif dan pariwisata berbasis komunitas. Gerakan ini menunjukkan adanya kesadaran baru dari generasi muda bahwa budaya bukan sekadar warisan pasif, tetapi aset aktif untuk membangun masa depan.
4.4.4 Peran Trisula Budaya: Sepanggang, Mariangin, Sengkuang
Ketiga desa ini—Sepanggang, Mariangin, dan Sengkuang—memegang peranan sentral dalam menjaga kontinuitas budaya Dayak Krio. Mereka bukan hanya sebagai ruang geografis, tetapi sebagai simbol spiritual dan kultural dari keteguhan terhadap nilai-nilai leluhur. Di tempat-tempat ini, sistem adat masih dijalankan dengan ketat, seperti pemilihan temenggung, pelaksanaan hukum adat, hingga pelestarian bahasa dan motif tenun khas.
Hutan dan sungai tetap menjadi penyangga utama kehidupan. Ritual adat seperti Naik Dango, Balalaat, Begawai, dan Nyobeng masih dilakukan dengan khidmat. Belarasa antar warga desa masih terasa kuat dalam praktik gotong royong, perkumpulan adat, dan musyawarah kampung. Dalam konteks ini, trisula budaya Dayak Krio dapat dianggap sebagai semacam “living museum” atau laboratorium etnografis yang hidup dan terus berkembang, bukan sekadar monumen tradisi yang beku.
4.4.5 Strategi Keberlanjutan Budaya
Menyadari ancaman homogenisasi budaya akibat globalisasi, perlu langkah strategis yang integratif dan kolaboratif antara komunitas lokal, akademisi, pemerintah daerah, dan LSM budaya. Strategi ini mencakup:
-
Pendidikan budaya lokal di sekolah
-
Revitalisasi bahasa ibu (bahasa Krio) sebagai bahasa pengantar
-
Pemberdayaan ekonomi melalui ekowisata dan produk budaya
-
Legalitas hak atas tanah adat
-
Digitalisasi arsip budaya dan sejarah lisan
Dengan pendekatan ini, Dayak Krio tidak hanya bertahan, tetapi mampu memproyeksikan jati dirinya ke masa depan dengan kuat dan bermartabat.
5. Simpulan
Dayak Krio adalah komunitas yang menjalin hubungan erat dengan sungai dan hutan, menjadikannya bagian dari identitas mereka. Meski modernisasi membawa gelombang perubahan, keberadaan desa-desa seperti Sepanggang, Mariangin, dan Sengkuang menjadi benteng terakhir dari kearifan leluhur. Keberlanjutan identitas Dayak Krio bergantung pada penguatan budaya, pelestarian lingkungan, dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.
6. Rekomendasi
-
Pemberdayaan komunitas adat melalui pendidikan berbasis budaya lokal.
-
Perlindungan kawasan sakral dan hutan adat melalui regulasi daerah.
-
Revitalisasi tradisi melalui dokumentasi digital dan festival budaya tahunan.
-
Kemitraan dengan LSM dan lembaga riset untuk memperkuat hak atas tanah dan pelestarian sungai.
7. Referensi
Putra, Agustinus Tamtama. 2020. Dayak Krio Ketapang, Kalbar: Mitos Asal Usul, Kini, Masa Depan. Jakarta: Lembaga Literasi Dayak.
Posting Komentar