Kaya Batubara tapi Krisis Energi di Kalimantan

 

Kaya Batubara tapi Krisis Energi di Kalimantan
Batubara Sumber Daya Alam (SDA) diangkut keluar pulau Kalimantan. Dokpri penulis.

Pendahuluan

Kalimantan, pulau yang kaya akan sumber daya alam (SDA), terutama batubara sebagai sumber energi, menghadapi kontradiksi yang mencolok: krisis energi, khususnya di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Meskipun memiliki cadangan batubara melimpah, wilayah ini sering mengalami pemadaman listrik. 


Baca Preserving Peat Forests and Indigenous Wisdom: The Case of Hutan Adat Tawang Panyai


Laporan ini menganalisis penyebab krisis energi di Kalimantan, dengan fokus pada pengelolaan sumber daya batubara, kebijakan energi nasional, dan dampaknya terhadap pembangunan lokal. Data bersumber dari observasi, diskusi dengan pakar seperti Faisal Basri, dan referensi terkait dinamika industri batubara global.


Latar Belakang

Kalimantan merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia, menyumbang 30% dari pasokan energi dunia, 40% produksi listrik, dan 70% bahan bakar untuk pembangkit listrik termal serta industri besi dan baja. Namun, Kalimantan, terutama Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah sering menghadapi krisis energi berupa pemadaman listrik berulang. 


Pertanyaan mendasar muncul: mengapa wilayah kaya sumber energi justru kekurangan pasokan listrik?


Analisis Krisis Energi di Kalimantan

1. Pengelolaan Sumber Daya Batubara

Sebagian besar batubara Kalimantan diekspor ke luar pulau atau luar negeri melalui rantai logistik yang melibatkan tongkang dan kapal besar. Prosesnya dimulai dari penggalian di pusat tambang, pengangkutan melalui sungai seperti Barito, Kahayan, Mahakam, dan Kapuas, hingga pengiriman ke pelabuhan untuk ekspor. 


Baca Dampak Perkebunan Sawit terhadap Masyarakat Dayak di Kalimantan : Dilema Ekonomi dan Tantangan Keadilan Sosial-Lingkungan


Aktivitas penambangan, baik legal maupun ilegal, menunjukkan eksploitasi masif, tetapi tidak diimbangi dengan pemanfaatan untuk kebutuhan energi lokal, sehingga pasokan batubara untuk pembangkit listrik di Kalimantan minim.


2. Ketimpangan Ekonomi dan Trickle Down Effect

Konsep trickle down effect dalam pembangunan pertambangan, yang seharusnya memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal, tidak berjalan efektif. Sumber daya batubara diekspor tanpa menghasilkan nilai tambah signifikan di Kalimantan. Infrastruktur energi lokal, seperti pembangkit listrik tenaga batubara, kurang dikembangkan, sehingga masyarakat setempat tidak merasakan manfaat langsung dari kekayaan SDA mereka.


3. Dinamika Industri Batubara Global

Secara global, permintaan batubara turun 8% pada 2020, penurunan terbesar sejak Perang Dunia II. Di Tiongkok, permintaan batubara menurun sekitar 5% pada periode yang sama. Meskipun batubara menyumbang 30% pasokan energi dunia, harganya yang murah (sepertiga harga minyak per unit termal) tidak mendorong investasi infrastruktur energi lokal di Kalimantan. Industri batubara juga menghadapi tantangan penurunan produksi dan kenaikan biaya pengadaan, yang mempersulit pengelolaan sumber daya.


4. Kebijakan Pemerintah dan Investasi

Pemerintah, melalui pernyataan pejabat tinggi seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, berencana meningkatkan sumber energi di Kalimantan Utara. Namun, implementasi terhambat oleh kurangnya infrastruktur pembangkit listrik dan distribusi energi. Fokus pada ekspor batubara untuk memperbaiki neraca perdagangan, seperti hubungan dagang dengan Tiongkok, sering mengesampingkan kebutuhan energi domestik.


Baca Alam dan Manusia sebagai Modal Dasar Pembangunan Krayan


Diskusi dengan Pakar

Dalam pertemuan dengan ekonom Faisal Basri di Bandara Supadio, Pontianak, muncul pertanyaan kritis: "Mengapa Kalimantan kaya sumber energi, tetapi selalu krisis energi?" Faisal Basri menyoroti bahwa eksploitasi batubara lebih diarahkan untuk keuntungan jangka pendek melalui ekspor, tanpa memprioritaskan pembangunan infrastruktur energi lokal.


Kesimpulan

Krisis energi di Kalimantan, khususnya di wilayah perbatasan, disebabkan oleh:

  1. Eksploitasi dan Ekspor Sumber Daya: Batubara diekspor dalam jumlah besar tanpa mendukung pembangkit listrik lokal.

  2. Kurangnya Infrastruktur Energi: Minimnya investasi pada pembangkit listrik dan jaringan distribusi menyebabkan ketimpangan pasokan.

  3. Kegagalan Trickle Down Effect: Manfaat ekonomi pertambangan tidak dirasakan masyarakat lokal.

  4. Tantangan Global: Penurunan permintaan batubara dan kenaikan biaya produksi memengaruhi keberlanjutan industri.

Rekomendasi

  1. Pembangunan Infrastruktur Energi Lokal: Prioritaskan pembangkit listrik tenaga batubara di Kalimantan untuk kebutuhan domestik.

  2. Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan: Kurangi ekspor batubara mentah dan dorong pengolahan lokal untuk nilai tambah.

  3. Pengawasan Penambangan Ilegal: Perketat regulasi untuk mengurangi penambangan ilegal yang merusak lingkungan.

  4. Transisi ke Energi Terbarukan: Mulai investasi pada energi terbarukan untuk kurangi ketergantungan pada batubara, sejalan dengan tren global.


Referensi

Diskusi dengan Faisal Basri di Bandara Supadio, Pontianak, 21 September 2021.

Data global tentang industri batubara dan krisis energi dunia.

Artikel berita terkait kebijakan energi dan perdagangan Indonesia-Tiongkok.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama