Persebaran dan Identitas Budaya Suku Ketungau Tesaek di Kabupaten Sekadau

Persebaran dan Identitas Budaya Suku Ketungau Tesaek di Kabupaten Sekadau
Orang Ketungau Tesaek dalam sebuah upacara pemyambutan tamu. Dok. Masri.

Peneliti          : Masri Sareb Putra

Tanggal rilis : 2 Juni 2025


1. Pendahuluan

Suku Ketungau Tesaek merupakan salah satu subetnis Dayak yang mendiami wilayah administratif Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Komunitas ini memiliki akar sejarah yang panjang, serta dinamika budaya yang khas dan penting untuk ditelusuri. Dalam dokumentasi lapangan, masyarakat Ketungau Tesaek terlihat menampilkan ekspresi budaya mereka melalui upacara penyambutan tamu, yang menunjukkan kekayaan tradisi mereka (Dokumentasi penulis).

Baca Jessica Manser dan Kajian Bioantropologi dan Arkeologi-nya di Gua Niah Menantang Teori Migrasi Austronesia : 70% Data Mendukung Teori Kesinambungan Lokal


2. Tinjauan Pustaka

Kajian awal mengenai suku Dayak Ketungau Tesaek dilakukan oleh Kunjan dan Pinson (2005) yang menyoroti aspek sejarah dan migrasi awal subetnis ini. Penelitian ini menjadi fondasi awal dalam pengenalan identitas mereka sebagai bagian dari rumpun Ketungau.


Selanjutnya, Alloy, Albertus, dan Istiany (2008) memperdalam pembahasan melalui buku Keberagaman Suku Dayak di Kalimantan Barat, yang memetakan persebaran dan ragam subetnis Dayak, termasuk Ketungau Tesaek, secara etnolinguistik dan geografis.


Kajian terbaru dilakukan oleh Masri dan Siyok (2021) dalam buku Dayak Ketungau Tesaek: Dahulu, Kini, dan Masa Depan, yang menyajikan pendekatan historis-kultural serta proyeksi masa depan kelompok ini dalam menghadapi arus modernisasi dan perubahan sosial.


3. Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif etnografis, dengan tujuan mendokumentasikan secara mendalam identitas, persebaran, dan dinamika budaya subetnis Dayak Ketungau Tesaek di Kabupaten Sekadau. Pendekatan ini dipilih untuk menangkap makna budaya dari sudut pandang emik, yakni perspektif orang dalam, terutama terkait sejarah migrasi, struktur sosial, dan praktik adat.

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan utama di Kabupaten Sekadau yang menjadi pusat persebaran komunitas Ketungau Tesaek, yaitu:

  • Kecamatan Sekadau Hilir

  • Kecamatan Sekadau Hulu

  • Kecamatan Belitang Hilir (terbatas)

Lokasi ini dipilih berdasarkan peta etnolinguistik yang disusun oleh Alloy, Albertus, dan Istiany (2008), yang mengindikasikan keberadaan signifikan komunitas Ketungau Tesaek di wilayah tersebut.

3.1 Validitas dan Triangulasi

Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan triangulasi sumber (tokoh adat, pemuda, perempuan), metode triangulasi (wawancara, observasi, dokumen), dan member checking, yakni klarifikasi ulang kepada informan utama agar interpretasi peneliti tidak menyimpang dari pemaknaan lokal.

Baca Unveiling the Mystery of Dayak Ancestry: A Terra Incognita


4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Identitas Sosial dan Budaya Ketungau Tesaek

Ketungau Tesaek termasuk dalam subrumpun Ibanik dalam kelompok etnolinguistik Dayak. Keberadaan mereka di Sekadau menampilkan keunikan sosial dan budaya tersendiri, yang membedakan mereka dari kelompok Ketungau lainnya, terutama yang menetap di Sintang.


Nama "Ketungau Tesaek" berasal dari kawasan Sungai Ketungau yang menjadi bagian dari narasi asal-usul mereka. Meski kini tinggal menetap di wilayah Sekadau, mereka tetap menyimpan hubungan simbolik dan historis dengan sungai tersebut. Di masyarakat lokal, mereka kadang disebut "Dayak Ketungau Sesae’" atau "Ketungau Sesat," yang dalam konteks lokal bukan berarti menyimpang, melainkan penanda perjalanan migrasi mereka dari hulu ke hilir dan kemudian bermukim di tempat yang berbeda dari kelompok induk mereka.


Identitas budaya mereka tercermin dalam struktur rumah panjang, adat istiadat, dan upacara seperti penyambutan tamu dan perayaan panen. Rumah panjang berfungsi bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai pusat kehidupan sosial, budaya, dan spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip gotong royong dan musyawarah menjadi landasan dalam pengambilan keputusan bersama.


4.2 Persebaran Geografis dan Populasi

Sebagaimana dicatat oleh Alloy dkk. (2008), komunitas Ketungau Tesaek tersebar di tiga wilayah utama Kabupaten Sekadau: Sekadau Hilir, Sekadau Hulu, dan sebagian kecil Belitang Hilir. Dengan populasi sekitar 28.020 jiwa, mereka tersebar di tidak kurang dari 48 kampung.


Peta etnolinguistik yang digunakan menggambarkan posisi strategis mereka dalam lanskap keberagaman etnis Kalimantan Barat. Di kawasan ini, mereka hidup berdampingan dengan kelompok Dayak lainnya, serta komunitas migran seperti Melayu, Jawa, dan Tionghoa. Di tengah keberagaman ini, Ketungau Tesaek mampu mempertahankan jati diri budaya sambil beradaptasi secara dinamis dengan lingkungan sosial yang multikultural.


Secara ekonomi, mayoritas warga hidup dari pertanian ladang berpindah, kebun karet, dan beberapa telah beralih ke kebun sawit plasma. Kegiatan tradisional seperti berburu, meramu, dan menangkap ikan tetap menjadi bagian dari keseharian mereka—menunjukkan hubungan ekologis yang kuat dengan alam.

Baca The Future of Indonesia's Indigenous Religions: What About Kaharingan?


4.3 Sejarah Migrasi dan Pembentukan Wilayah Sosial

Narasi lokal tentang asal-usul Ketungau Tesaek menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari hulu Sungai Ketungau di wilayah Sintang. Dalam sejarah migrasinya, mereka menyusuri sungai ke arah hilir, kemudian berbalik ke arah muara Sungai Sekadau, lalu bergerak ke hulu Sungai Kapuas hingga menemukan wilayah yang kini dikenal sebagai Sungai Ketungau di Sekadau dan akhirnya menetap di sana.

Proses ini tidak sekadar mobilitas geografis, melainkan membentuk identitas dan kebudayaan. Setiap titik persinggahan dalam perjalanan menjadi ruang akulturasi dan adaptasi. Oleh sebab itu, Ketungau Tesaek membangun karakter sosial yang berbeda dari kelompok asal mereka di Sintang.

Struktur sosial mereka—terlihat dalam tata letak kampung dan rumah panjang—menjadi warisan yang tetap hidup dan menjadi simbol identitas kolektif.


4.4 Diferensiasi Identitas dan Konsekuensi Budaya

Meski memiliki akar yang sama, Ketungau Tesaek dan Ketungau Sintang berkembang dengan karakter budaya yang berbeda. Ketungau Sintang cenderung mempertahankan sistem adat yang lebih hierarkis, sementara Ketungau Tesaek lebih egaliter dan terbuka terhadap pembaruan, termasuk dalam interaksi dengan lembaga pendidikan dan organisasi sosial seperti koperasi.

Perbedaan ini juga tampak dari bagaimana masing-masing kelompok merespons perubahan, seperti ekonomi perkebunan dan pengaruh agama. Di balik kesamaan bahasa dan adat, terdapat penafsiran budaya yang berbeda terhadap simbol-simbol leluhur, seni ukir, lagu tradisional, hingga tatanan sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak tidak tunggal atau seragam, melainkan terdiri dari berbagai entitas sosial yang masing-masing memiliki jalur sejarah dan dinamika budaya tersendiri.


4.5 Tantangan dan Peluang Pelestarian Budaya

Di tengah arus globalisasi, Ketungau Tesaek menghadapi tantangan pelestarian identitas. Ekspansi perkebunan besar, modernisasi konsumsi, dan pergeseran nilai dalam generasi muda dapat menggerus tradisi dan bahasa lokal mereka.


Meski demikian, terdapat harapan dan peluang: gerakan literasi berbasis kampung, dokumentasi budaya lewat video dan media sosial, serta penguatan lembaga adat membuka ruang baru bagi pelestarian. Dukungan dari pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil sangat diperlukan agar upaya-upaya ini berkelanjutan.

Baca The Dayak of Borneo: Guardians of the Rainforest or Scapegoats of Deforestation?


5. Simpulan

Ketungau Tesaek merupakan bagian dari subetnis Dayak dengan identitas budaya yang unik, terbentuk dari sejarah migrasi dan pengalaman sosial mereka yang berbeda dari kelompok Ketungau Sintang. Keberadaan mereka memperkaya mosaik etnis Kalimantan Barat dan memberikan gambaran bahwa masyarakat Dayak sangat beragam secara internal.


Penelitian terdahulu oleh Alloy, Albertus, dan Istiany menjadi fondasi penting untuk memahami dinamika sosial dan persebaran suku ini. Kajian lanjutan diperlukan guna memperdalam pemahaman kita terhadap proses transformasi budaya masyarakat Ketungau Tesaek, terutama dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah. *)


Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama