Terong Asam: Kajian Budaya dan Kuliner atas Bahan Masakan Dayak di Borneo

 

Terong Asam: Kajian Budaya dan Kuliner atas Kelezatan Dayak di Borneo
Terong asam menjadi kuliner luar biasa di restoran Tenda Biru, Sekadau. Dok. Borneotravel.com

Peneliti        : Masri Sareb Putra, M.A.

Tanggal rilis: 04 Juni 2025

Abstrak

Terong Asam, atau dikenal juga sebagai terong Dayak (Solanum ferox), merupakan tanaman khas hutan Borneo yang kaya akan keanekaragaman hayati. Buahnya yang berwarna ungu cerah dengan cita rasa asam yang khas menjadikannya bagian penting dari kuliner masyarakat Dayak, khususnya di wilayah Sanggau, Sekadau, Sintang, Kalimantan Barat. 

Baca Preserving Peat Forests and Indigenous Wisdom: The Case of Hutan Adat Tawang Panyai


Sebagai bahan utama dalam berbagai masakan tradisional, terong asam juga mulai menarik perhatian di dunia gastronomi modern. Anehnya, meski dapat tumbuh di luar Kalimantan seperti di Pulau Jawa, rasa aslinya tidak bisa ditiru secara sempurna. Perbedaan tanah, suhu, dan iklim diduga menjadi penyebab utama perbedaan rasa tersebut. Artikel ini menegaskan pentingnya terong asam sebagai jembatan antara tradisi lokal dan inovasi kuliner global.


1. Pendahuluan

Terong Asam adalah tanaman khas Borneo yang tidak hanya menarik secara visual, tapi juga kaya fungsi. Daunnya lebar, buahnya berwarna ungu cerah, dan rasanya asam menyegarkan. Dalam budaya masyarakat Dayak di Sanggau dan Sekadau, terong ini bukan sekadar bahan makanan—ia adalah simbol tradisi dan identitas.


Selain menjadi bahan kuliner utama, terong asam juga dipercaya memiliki khasiat obat, seperti membantu pencernaan dan mengurangi peradangan. 


Artikel ini membahas secara mendalam dimensi budaya, kegunaan kuliner, dan nilai kesehatannya.

Baca The Dayak's Fields: A Historical and Practical Study of Environmentally Friendly Indigenous Wisdom


2. Makna Budaya Terong Asam

Dalam budaya Dayak, terong asam memiliki tempat istimewa. Ia bukan hanya bahan masakan, tetapi juga lambang kekayaan alam dan pengetahuan tradisional. Buah ini kerap hadir dalam acara keluarga dan perjamuan adat, memperkuat ikatan sosial antarkeluarga dan komunitas.


Saking nikmatnya, muncul pepatah lokal yang mengatakan, “Lupa mertua lewat” suatu ungkapan humoris yang mencerminkan daya tarik kuliner ini. Kehadiran terong asam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Dayak menjadikannya simbol identitas sekaligus kebanggaan budaya.


3. Fleksibilitas Kuliner

3.1. Pengolahan Tradisional

Terong asam paling sering dimasak sebagai semur asam gurih. Cita rasanya yang khas sangat cocok dipadukan dengan berbagai protein lokal seperti ikan air tawar—seluang, gabus, toman, kalui (gurami), lais, baong, hingga tapah. Tiga ikan terakhir dikenal menghasilkan rasa paling lezat saat dimasak bersama terong ini.

Selain itu, terong asam juga digunakan bersama daging buruan seperti rusa, babi hutan, hingga ular. Di Sekadau misalnya, restoran “Tenda Biru” menyajikan terong asam sebagai hidangan musiman yang sangat digemari, terutama jika dipadukan dengan udang galah segar.

3.2. Adaptasi Modern

Kini, terong asam tak hanya populer di pedalaman. Restoran di kota-kota seperti Pontianak dan Sintang mulai menghadirkan menu berbasis terong asam dengan sentuhan modern. 

Baca The Dayak of Borneo: Guardians of the Rainforest or Scapegoats of Deforestation?


Para koki bereksperimen menciptakan hidangan khas yang menggabungkan cita rasa khas ini dengan teknik kuliner global, membuktikan bahwa terong asam memiliki potensi dalam panggung gastronomi internasional.

Morfologi terong asam.
Morfologi terong asam. Tanah dan cuaca cocok di Kalimantan. Dok. Borneotravel.com.


4. Manfaat Kesehatan

Selain lezat, terong asam menyimpan manfaat kesehatan yang patut diperhitungkan. Dalam pengobatan tradisional Dayak, buah ini dipercaya membantu pencernaan dan meredakan peradangan. Kandungan serat dan antioksidan dalam buahnya diduga menjadi kunci dari manfaat tersebut.

Meski penelitian ilmiah mengenai Solanum ferox masih terbatas, laporan dari masyarakat dan pengamatan empirik menunjukkan potensinya sebagai bahan pangan yang menyehatkan.


5. Perbedaan Cita Rasa Berdasarkan Lokasi

Uniknya, meskipun terong asam bisa tumbuh dan berbuah di daerah lain seperti di Jawa, rasa buahnya berbeda jika dibandingkan dengan yang ditanam di Kalimantan. Ini menunjukkan bahwa faktor tanah, suhu, dan cuaca sangat memengaruhi cita rasa. Lingkungan tumbuh ternyata memiliki dampak besar terhadap karakteristik buah ini—sebuah pertimbangan penting dalam upaya budidaya di luar habitat aslinya.


6. Diskusi

Dalam kapasitas saya sebagai peneliti gastronomi lintas budaya dan pemerhati keberlanjutan kuliner berbasis kearifan lokal, terong asam layak disebut sebagai the unsung hero dalam khazanah kuliner tropis Asia Tenggara. Ia bukan sekadar buah-buahan hutan tropis yang digunakan oleh masyarakat adat Dayak dalam sajian sehari-hari, melainkan representasi dari dialog panjang antara rasa, identitas, dan ekologi. Sebagaimana truffle bagi Prancis atau umeboshi bagi Jepang, maka terong asam bagi Borneo menyimpan kompleksitas rasa dan cerita budaya yang belum seluruhnya dituliskan; apalagi dipasarkan secara strategis.


Secara organoleptik, terong asam menghadirkan spektrum rasa yang khas: asam alami yang segar, ringan sepat, kadang berpadu sedikit rasa pahit atau manis samar tergantung usia panen dan perlakuan tanahnya. Profil rasa inilah yang menjadikannya sangat versatile dalam dunia kuliner. Ia dapat berperan sebagai agen penyeimbang dalam sup, memperkuat rasa umami alami dari ikan air tawar, atau bahkan menjadi aksen fermentasi jika dijadikan acar tradisional.


Meski demikian, yang paling menarik adalah sifat terroir terong asam yang sangat spesifik. Sebagaimana kopi arabika yang menunjukkan keunikan rasa berdasarkan ketinggian dan jenis tanahnya, terong asam pun menunjukkan keistimewaan ketika ditanam dan tumbuh di tanah Kalimantan. Ketika ia dibudidayakan di Jawa—meskipun tetap tumbuh subur dan berbuah—profil rasa dan aromanya berbeda secara signifikan. Dalam bahasa gastronomi, ini menunjukkan bahwa soil signature Kalimantan memiliki pengaruh nyata terhadap ekspresi rasa terong asam.


Sayangnya, di tengah gelombang kuliner global yang kerap mengagung-agungkan bahan dari luar, quinoa, kale, bahkan edible flower dari Eropa, kita sering abai bahwa hutan tropis kita menyimpan superfood dengan nilai gizi, sejarah budaya, dan daya eksplorasi kuliner yang jauh lebih kaya. Terong asam adalah salah satunya. Belum banyak riset mendalam terhadap kandungan nutrisi dan potensi ekstraktif non-kayu ini, padahal sifat anti-inflamasi dan kandungan seratnya menjadikannya sangat sesuai dengan tren makan sehat yang kini digandrungi kelas menengah urban.

Baca The Historical Significance of the Crocodile Monument in Long Mutan


Hal yang lebih menarik, beberapa restoran Cina di Jakarta, misalnya yang terletak di kawasan Jalan Jayakarta, telah secara diam-diam memasukkan olahan terong asam ke dalam menunya. Biasanya ia dipadukan dengan ikan nila kukus atau sup herbal khas Hakka. Ini menunjukkan bahwa ada irisan antara cita rasa Dayak dan Tionghoa dalam memanfaatkan keasaman sebagai penyeimbang protein berlemak. Namun, karena promosi yang masih sangat terbatas, menu ini cenderung hanya dikenal oleh komunitas diaspora Tionghoa Kalimantan dan mereka yang memiliki koneksi personal ke tanah Borneo.


Fakta ini mengungkap satu ironi: bahwa kuliner Dayak, meskipun memiliki kedalaman budaya dan daya eksplorasi gastronomi yang tinggi, masih belum berhasil mengukir jejak signifikan di peta kuliner nasional—apalagi internasional. Ini bukan soal rasa, tetapi soal narasi dan distribusi. Kita memerlukan narasi besar tentang “Rasa dari Borneo,” dan terong asam bisa menjadi ikon utama dalam gerakan ini.


Dari sisi branding kuliner, terong asam dapat diangkat dalam beberapa bentuk: (1) sebagai bahan mentah premium dengan label indigenous produce of Borneo untuk pasar ekspor, (2) sebagai komponen menu unggulan di restoran fine dining bertema forest-to-table, atau (3) sebagai produk olahan UMKM seperti sambal terong asam, bumbu instan, dan sup kemasan sehat berbasis tanaman rimba tropis.


Langkah awal bisa dimulai dari festival kuliner tematik seperti “Taste of Dayak” atau “Borneo Wild Food Expo,” melibatkan koki nasional dan internasional untuk bereksperimen dengan bahan lokal. Lembaga riset pangan pun seharusnya mulai memfokuskan perhatian pada spesies lokal semacam ini, bukan semata mengulang komoditas global yang telah mapan.


Di tengah krisis pangan global dan disrupsi rantai pasok, bahan pangan lokal yang adaptif terhadap lingkungan ekstrem seperti terong asam, dapat menjadi jawaban ekologis dan kultural terhadap kebutuhan pangan masa depan. Ia tumbuh tanpa banyak input, tidak memerlukan pestisida, dan memiliki daya adaptasi yang tinggi. Maka, bukan berlebihan jika saya menyebut terong asam sebagai kuliner masa depan—berakar pada tradisi, dan berpotensi menjangkau dunia.

Baca Dr. Wilson Is Researching "Local Wisdom and the Philosophy of Beumai (Farming) Among the Iban Dayak of Sintang Regency".


7. Kesimpulan

Terong Asam adalah cerminan dari kekayaan budaya dan kuliner masyarakat Dayak di Borneo. Cita rasanya yang kuat, fleksibilitas pengolahan, dan manfaat kesehatannya menjadikannya salah satu bahan pangan yang patut mendapat perhatian lebih. Ketika terong asam masuk ke panggung kuliner modern, ia membawa serta warisan tradisi yang kaya, membuka peluang baru dalam eksplorasi gastronomi dan konservasi keanekaragaman hayati Borneo.



Referensi

[1] Borneo Travel. (2025). Terong Asam: A Dayak Delicacy That Will Blow Your Taste Buds Away. Diakses dari BorneoTravel.com

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama