Kaharingan sebagai Agama Asli Suku Dayak

Kaharingan sebagai Agama Asli Suku Dayak
Para penganut Kaharingan di Tumbang Manggu, Katingan, Kalteng. Dok. Masri Sareb.

Disusun oleh: Masri Sareb Putra, M.A.

Tanggal rilis: 5 Juni 2025


Pendahuluan

Kebudayaan merupakan cerminan kompleks dari pola pikir, perilaku, dan ekspresi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu pendekatan yang berpengaruh dalam kajian antropologi adalah teori tujuh unsur kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Clyde Kluckhohn dan A.L. Kroeber dalam Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952).


Menurut kerangka ini, kebudayaan adalah pola tingkah laku yang dipelajari, ditransmisikan melalui simbol, dan diwujudkan dalam artefak material. Tujuh unsur utama tersebut meliputi: sistem kepercayaan, bahasa, organisasi sosial, mata pencaharian, pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Di antara unsur-unsur ini, sistem kepercayaan memainkan peran sentral karena mengatur nilai-nilai dan cara masyarakat memahami eksistensinya dalam hubungan dengan alam, kosmos, dan entitas ilahi.


Dalam konteks masyarakat Dayak di Kalimantan, sistem kepercayaan Kaharingan menjadi pilar utama identitas budaya. Ia tidak hanya mencerminkan keyakinan spiritual, tetapi juga mengikat berbagai aspek kehidupan sosial, ekologis, dan kosmologis. Laporan ini bertujuan menganalisis Kaharingan sebagai unsur kebudayaan Dayak, berdasarkan teori Kroeber-Kluckhohn dan pemikiran antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, sambil menelaah perdebatan seputar autentisitasnya.


1. Kerangka Teoretis: Sistem Kepercayaan dalam Kebudayaan

Kroeber dan Kluckhohn (1952) mendefinisikan sistem kepercayaan sebagai dimensi kebudayaan yang mencakup keyakinan terhadap kekuatan supranatural, nilai spiritual, dan pandangan dunia mengenai asal-usul kehidupan, kematian, serta hubungan manusia dengan alam. Sistem ini tidak terbatas pada doktrin agama, tetapi menjadi kerangka yang mengatur praktik adat, ritual, dan norma sosial, serta membentuk identitas kolektif suatu kelompok.


Koentjaraningrat (1985) menekankan bahwa dalam masyarakat adat seperti Dayak, sistem kepercayaan tidak hanya bersifat spiritual, melainkan juga mengatur hubungan harmonis dengan alam dan struktur sosial. Dalam konteks ini, Kaharingan memenuhi kriteria sistem kepercayaan asli karena diwariskan turun-temurun melalui tradisi lisan dan ritual yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat.


2. Karakteristik Kaharingan sebagai Sistem Kepercayaan

Agama Kaharingan adalah warisan spiritual yang lahir dari tanah dan kehidupan masyarakat Dayak. Ia bukan sekadar sistem kepercayaan, melainkan inti dari adat, budaya, dan nilai-nilai yang membentuk identitas Dayak selama berabad-abad. Melalui Kaharingan, orang Dayak memaknai hubungan mereka dengan alam, roh leluhur, dan Sang Pencipta Yang Mahatinggi.


Sepanjang sejarah, kepercayaan ini dikenal dengan berbagai nama—seperti helu, hiden, agama dusun, atau agama tempon telun—yang mencerminkan keragaman subetnis Dayak dan persepsi luar terhadap keyakinan ini. Istilah "Kaharingan" mulai digunakan lebih luas pada masa pendudukan Jepang, diperkenalkan oleh tokoh adat Damang Yohanes Silalahi, meski kata ini telah muncul sebelumnya dalam Kitab Panaturan sebagai Nyalung Kaharingan Belum—air suci kehidupan (Tiwi Etika dkk., 2016:97).


Dulu, seluruh komunitas Dayak hidup dalam naungan Kaharingan. Namun, modernisasi, masuknya agama-agama besar, serta tekanan sosial-politik membuat banyak komunitas berpindah keyakinan. Meski demikian, Kaharingan tetap bertahan—terwujud dalam ritual, nyanyian adat, jejak di hutan, dan ingatan para penjaga tradisi.


Tidak seperti sistem panteon dewa dalam Hindu, Kaharingan menekankan harmoni dengan alam, terutama hutan, yang diyakini sebagai tempat roh-roh leluhur bersemayam. Hutan dipandang sebagai ruang sakral yang dilindungi oleh aturan adat, termasuk larangan menebang pohon tanpa ritual.


Salah satu upacara terpenting adalah tiwah, ritual untuk mengantar roh ke Lewu Tatau—dunia arwah. Prosesi ini mencakup persembahan dan tarian adat seperti balean dadas, yang mencerminkan keterpaduan antara spiritualitas, seni, dan struktur sosial Dayak (Koentjaraningrat, 1985; Kroeber & Kluckhohn, 1952).


Kaharingan juga memelihara pengetahuan tradisional, seperti pemanfaatan ramuan obat dan praktik manajah antang untuk meminta petunjuk roh leluhur. Sebagai religio loci, agama yang tumbuh dari bumi dan lingkungannya, Kaharingan mencerminkan hubungan holistik manusia dengan alam. Ia menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan manusia memengaruhi keseimbangan ekosistem dan keberlangsungan hidup.


3. Debat Autentisitas Kaharingan

Perdebatan mengenai autentisitas Kaharingan muncul terutama pada masa kolonial dan Orde Baru. Pada era Orde Baru (1966–1998), Kaharingan diklasifikasikan secara administratif sebagai bagian dari agama Hindu, yang menimbulkan kebingungan identitas.


Koentjaraningrat menolak penyamaan ini, karena Kaharingan memiliki kosmologi dan ritual yang sangat berbeda, misalnya tiwah yang tidak memiliki padanan dalam agama Hindu. Klasifikasi administratif tersebut mengabaikan kekhasan Kaharingan sebagai sistem kepercayaan otonom.


Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952), sistem kepercayaan yang asli harus mencerminkan pola perilaku khas, diwariskan turun-temurun, dan terintegrasi dengan unsur kebudayaan lain. Kaharingan memenuhi semua kriteria ini, termasuk dalam bidang seni (seperti balean dadas) dan arsitektur (rumah betang).


Bakker menegaskan bahwa agama asli berperan sebagai pengatur moral dan sosial dalam masyarakat, termasuk dalam komunitas Dayak. Ia menjadi pedoman hidup yang mengatur interaksi, cara bertani, berburu, dan menjaga keseimbangan alam. Ritus yang dijalankan bukan hanya untuk meminta berkat, tetapi juga untuk memperkuat hubungan dengan leluhur, alam, dan Sang Pencipta. Dengan demikian, agama asli tidak hanya berkaitan dengan dunia supranatural, melainkan merupakan cara hidup yang menyeluruh.


Seiring regulasi kepercayaan di masa Orde Lama, Kaharingan mencari bentuk legalitas dan pada 1980 bergabung secara institusional di bawah payung agama Hindu, tanpa mencampur ajaran secara teologis. Integrasi ini memudahkan pelayanan umat dan menunjukkan kesamaan nilai-nilai antara keduanya. Meski terafiliasi secara administratif, ritus dan identitas spiritual khas Kaharingan tetap dipertahankan, seperti tercermin dalam Kitab Panaturan dan konsep-konsep keimanan yang sejalan dengan Panca Sraddha.


4. Integrasi Kaharingan dengan Unsur Kebudayaan Lain

Kaharingan bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga benang merah yang menyatukan berbagai unsur budaya Dayak. Dalam organisasi sosial, pemimpin ritual balian memainkan peran penting menjaga keseimbangan kosmik dan meneruskan nilai-nilai tradisional. Struktur adat seperti pembekal dan penghulu juga dipengaruhi oleh nilai-nilai Kaharingan.


Sistem mata pencaharian Dayak dipengaruhi oleh etika Kaharingan, seperti larangan merusak hutan tanpa ritual, yang mencerminkan prinsip ekologi berkelanjutan. Rumah betang sebagai artefak arsitektural dirancang berdasarkan prinsip-prinsip kosmologi Kaharingan, mencerminkan keseimbangan antara dunia manusia dan dunia roh.


5. Tantangan Pengakuan dan Ketahanan Kaharingan

Kaharingan menghadapi tantangan dalam hal pengakuan resmi sebagai agama tersendiri. Pada masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ia sering dikategorikan sebagai “aliran kepercayaan” atau “agama suku,” bukan sebagai agama resmi.


Koentjaraningrat mencatat bahwa perjuangan untuk pengakuan ini tidak semata-mata bersifat administratif, tetapi merupakan upaya menjaga identitas budaya Dayak dari tekanan modernisasi dan asimilasi.


Meskipun menghadapi tantangan, Kaharingan tetap hidup dan dipraktikkan, terutama di Kalimantan Tengah. Kelangsungan upacara tiwah dan tradisi lisan menunjukkan ketahanan budaya yang kuat. Hal ini sejalan dengan pandangan Kroeber dan Kluckhohn bahwa budaya asli bersifat dinamis, namun memiliki akar kuat dalam tradisi dan transmisi lintas generasi.


6. Kesimpulan

Kaharingan adalah sistem kepercayaan asli suku Dayak yang memenuhi kriteria unsur kebudayaan menurut teori Kroeber dan Kluckhohn (1952). Sistem ini tidak hanya mencerminkan keyakinan spiritual, tetapi juga terintegrasi dengan aspek sosial, ekologis, seni, dan organisasi sosial masyarakat Dayak.


Koentjaraningrat (1985) menegaskan bahwa Kaharingan merupakan pilar utama identitas budaya Dayak dan mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam.


Meskipun menghadapi tantangan pengakuan resmi, data antropologis dan sejarah menunjukkan bahwa Kaharingan adalah unsur kebudayaan yang tak terbantahkan dan menjadi simbol ketahanan serta kekayaan budaya asli Indonesia.


Referensi

Bakker, J. (1972). Agama Asli Indonesia. Yogyakarta: Puskat Bagian Publikasi.

Etika, Tiwi dan Masri Sareb Putra. 2025. Agama Asli Suku DayakDahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.

Kroeber, A.L., & Kluckhohn, C. (1952). Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Cambridge, MA: Peabody Museum.

Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Weinstock, J.A. (1983). Kaharingan and the Luangan Dayaks: Religion and Identity in Central-East Borneo. Ph.D. Dissertation, Cornell University.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama