Wilayah Adat Taman Sunsong. Dokpri. |
Oleh: Dr. Stefanus Masiun dan Vermy
Rektor Institut Teknologi Keling Kumang, Doktor Ekonomi Lingkungan, Universitas Tanjungpura, Pontianak. Dan Pegiat serta pembela teguh lingkungan hidup.
ABSTRAK
Penelitian ini mengevaluasi nilai total kekayaan wilayah adat Taman Sunsong yang terletak di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Dengan pendekatan valuasi lingkungan dan sosial, studi ini menemukan bahwa nilai ekonomi dari wilayah tersebut mencapai Rp 1.155.750.223.212.
Nilai ini tidak hanya mencerminkan potensi sumber daya alam (SDA), tetapi juga mengafirmasi pentingnya warisan budaya, identitas kolektif, serta sistem pengetahuan lokal masyarakat adat Dayak Taman. Temuan ini memperkuat argumen bahwa perlindungan wilayah adat harus diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan dan tata kelola hutan tropis Indonesia.
Baca Pengakuan Hutan Adat Tawang Panyai dan Dampak Sosial-Ekonomi di Tapang Sambas
1. PENDAHULUAN
Wilayah adat merupakan manifestasi sejarah, budaya, dan sistem kehidupan masyarakat adat. Di Kalimantan Barat, wilayah adat bukan sekadar ruang geografis, melainkan juga ruang eksistensial yang menjadi fondasi hidup komunitas Dayak. Taman Sunsong adalah salah satu contoh konkret bagaimana masyarakat menjaga wilayahnya secara turun-temurun tanpa merusaknya.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan valuasi ekonomi atas kekayaan ekologis dan sosial wilayah adat Taman Sunsong, guna memberikan dasar ilmiah bagi pengakuan legal serta advokasi lingkungan dan hak masyarakat adat.
2. METODOLOGI
Studi ini menggunakan pendekatan valuasi ekonomi lingkungan dengan metode penghitungan langsung dan estimasi nilai ekosistem berdasarkan:
2.1 Nilai guna langsung (direct use value): hasil hutan bukan kayu, sumber air, pangan lokal, obat-obatan.
2.2 Nilai guna tidak langsung (indirect use value): jasa ekosistem, penyerapan karbon, keanekaragaman hayati.
2.3 Nilai eksistensi dan budaya (existence and cultural value): identitas adat, situs-situs keramat, dan sistem pengetahuan lokal.
Data primer dikumpulkan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam dengan tokoh adat, dan dokumentasi lokal. Data sekunder diperoleh dari studi sebelumnya serta referensi akademik dan pemerintah.
Baca Kaya Batubara tapi Krisis Energi di Kalimantan
3. TEMUAN
Wilayah Adat Taman Sunsong mencakup:
3.1 Dusun Sakatiga
3.2 Dusun Sunsong
3.3 Dusun Bungkong
3.4 Nate Lalang
Wilayah ini terdiri atas hutan hujan tropis yang kaya biodiversitas, lahan pertanian tradisional, serta kawasan keramat dan situs sejarah. Temuan utama:
Total estimasi nilai kekayaan wilayah adat:
Rp 1.155.750.223.212 (Satu triliun seratus lima puluh lima miliar tujuh ratus lima puluh juta dua ratus dua puluh tiga ribu dua ratus dua belas rupiah)
Sumber utama nilai:
1. Jasa ekosistem (air bersih, udara, iklim mikro)
2. Budaya dan identitas ada
3. Potensi ekowisata dan pendidikan lingkungan
4. Hasil hutan bukan kayu (rotan, damar, madu)
4. DISKUSI
4.1 Melampaui Logika Kapitalisme Ekstraktif
Valuasi ini membuka mata bahwa pendekatan ekonomi konvensional tidak cukup untuk mengukur nilai wilayah adat. Nilai Rp 1,1 triliun tersebut belum mencakup keseluruhan dimensi spiritual, kultural, dan ekologis. Dalam perspektif ekonomi lingkungan, angka tersebut adalah titik masuk untuk sebuah perubahan paradigma: dari ekstraksi menjadi konservasi dan dari eksploitasi menjadi regenerasi.
Seorang ekonom lingkungan memahami bahwa nilai bukan hanya dihitung dari yang bisa dijual, tetapi dari fungsi keberlanjutan jangka panjang, yang menjadi ciri khas wilayah adat. Dalam konteks Taman Sunsong, masyarakat adat telah mempraktikkan sistem kelola hutan lestari yang tidak membutuhkan sertifikasi internasional untuk menunjukkan keberhasilannya.
4.2 Hutan Adat sebagai Bank Ekologi dan Budaya
Hutan adat adalah bank yang menyimpan kekayaan ekologis dan budaya. Di Taman Sunsong, masyarakat tidak hanya menggantungkan hidup dari hasil hutan, tetapi juga membentuk identitas kolektif mereka dari lanskap tersebut. Dalam kerangka konservasi global, praktik lokal ini jauh lebih berharga daripada proyek konservasi top-down yang sering mengabaikan masyarakat adat sebagai aktor utama.
Dengan menilai hutan hanya sebagai kayu, kita kehilangan nilai totalnya. Namun, ketika kita mengakui wilayah adat sebagai sumber kehidupan, pengetahuan, dan identitas, kita melihat bahwa hutan adalah bagian dari “ekosistem sosial” yang tidak bisa direduksi menjadi angka pasar semata.
4.3 Urgensi Pengakuan Legal
Tanpa pengakuan resmi dari negara, kekayaan ini rentan terhadap perampasan lahan, ekspansi sawit, pertambangan, dan kebijakan pembangunan yang tidak sensitif. Nilai Rp 1,1 triliun adalah argumen akademik yang kuat bagi penetapan status hukum wilayah adat. Lebih dari itu, pengakuan ini adalah pengakuan atas keberadaan manusia dan sejarah yang tak boleh dihapus oleh korporasi dan negara.
4.4 Masyarakat Adat sebagai Pelopor Keberlanjutan
Paradoksnya, masyarakat yang dianggap "tertinggal" justru mempraktikkan prinsip ekonomi regeneratif jauh sebelum istilah itu menjadi tren global. Mereka menjaga tanah bukan untuk dijual, tapi diwariskan. Mereka mengambil dari alam secukupnya dan mengembalikan dalam bentuk adat, ritual, dan kearifan lokal.
5. KESIMPULAN
Penelitian ini menegaskan bahwa valuasi wilayah adat tidak bisa berhenti pada angka, tetapi harus menjadi alat untuk memperjuangkan hak, keadilan ekologis, dan keberlanjutan.
Nilai Rp 1.155.750.223.212 adalah bukti bahwa masyarakat adat Dayak Taman Sunsong bukan hanya subjek sejarah, tetapi juga pelaku utama masa depan Borneo yang lestari.
Baca Nenas Krayan Manis dan Faktor-faktor Penyebabnya
6. REKOMENDASI
1. Pemerintah daerah dan nasional harus segera mengakui secara hukum wilayah adat Taman Sunsong.
2. Lembaga pendidikan dan riset didorong untuk menjadikan wilayah ini sebagai laboratorium ekologi-budaya
3. Masyarakat adat perlu difasilitasi dalam skema ekonomi hijau berbasis pengetahuan lokal.
4. Segera hentikan proyek-proyek ekstraktif yang mengancam keberadaan hutan adat.
DAFTAR PUSTAKA
Forest
Watch Indonesia. (2018). Deforestasi
Tanpa Henti, “Potret Deforestasi di Sumatra Utara, Kalimantan Timur dan Maluku
Utara. Forest Watch Indonesia, Bogor.
Forest Watch Indonesia.(2019). Tematik Spasial Hak Guna Usaha (HGU), Alternatif Informasi Spasial “Sebuah Dorongan Untuk Lebih Terbuka. Forest Watch Indonesia, Bogor.
Forsyth, Tim., & John, Craig. (2014).Elinor’s Legacy: Governing the Commons and the Rational Choice Controvercy. Development and Change, Institute of Social Studies, The Hague.
Gatzweiler, Franz. (2003). Economic Values, Instituions and Ecosystem – The Shift from Natural to Social Value and Why Culture Matters. Visiting Scholar at the Workshop in Political Theory and Policy Analysis, International Forestry Resources and Institutions Research Program, contact: f.gatz@gmx.de, ifri03@indiana.edu
Guiso, L., P. Sapienza.,& L. Zingles. (2006). Does Culture Affect Economic Outcomes? Journal of Economic Perspectives, 20(2): 23-48.
Hackett,
Steven C. (1960).Environmental and
Natural Economics, Theory, Policy, and the Sustainable Society. 3rd
Edition, ME Sharpe Armonk, New York, London England.
Halimatussadiah,
Alin., Tim Ekonomi AMAN., & PD AMAN Banten Kidul. (2018). Kontribusi Ekonomi Atas Pengelolaan Lanskap
Berkelanjutan Pada Masyarakat Adat Kesepuhan Karang, Provinsi Banten.
AMAN-CLUA, Bogor.
Hawkins, Katherine. (2003).Economic Valuation of Ecosystem Services.Environmental Econmics Series. University of Minnesota.
Hettne, Bjorn. (2001).Teori Pembangunan dan Tiga Dunia.Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Infield,
Mark.,&Mugisha, Arthur. (2010). Integrating
Cultural, Spiritual and Ethical Dimensions into Conservation Practice in a
Rapidly Changing World. Prepared for the John D. And Catherine T. MacArthur
Foundation by Fauna and Flora International.
Kementerian
Kehutanan. (2010). Cadangan Karbon pada
Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kementeria Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020), Hutan Dan Deforestasi Indonesia Tahun 2019, Siaran Pers Nomor : SP. 162/HUMAS/PP/HMS.3/4/2020, 23 April 2020.
Knack, S. &Keefer, P. (1997). Does Social Capital Have an Economic Payoff? The Quarterly Journal of Economics,112(4): 1251-1288.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2016). Laporan Kasus Tahun
2016, Komnas HAM, Jakarta.
Kompas.(2016). Kearifan Lokal Sumber Kebijakan Pembangunan, Edisi 12 Oktober.
Kompas. (2018). Konflik Agraria, Mereka Tersingkir di Tanah Sendiri. Edisi 22 Oktober.
Kompas. (2019). APBD Belum Optimal.Edisi 11 Desember.
Kompas. (2019). Keroyokan Danai SDGs.Edisi 10
Oktober 2019.
Konsorsium
Pembaruan Agraria. (2017). Catatan Akhir Tahun 2017. Konsorsium Pembaruan Agrari, Jakarta.
Pemerintah
Daerah Kabupaten Sekadau. (2017). Peraturan
Bupati Sekadau Nomor 50 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Air
Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum Sirin Meragun.
Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau. (2018). Lampiran Keputusan Bupati Sekadau Nomor 01/243/PDAM/2018 Tentang Tarif Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum Sirin Meragun Sekadau.
PDAM Sirin Meragun
Kabupaten Sekadau. (2018). Lampiran
Keputusan Direktur
PDAM Sirin
Meragun Kabupaten SekadauNomor 13 Tahun 2018 Tanggal 30 Agustus
2018Tentang Besaran Tarif Non Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum
Sirin Meragun Sekadau.
Posting Komentar