Aktualisasi dan Transformasi Identitas Kebudayaan Dayak dalam Konteks Modern

 

Aktualisasi dan Transformasi Identitas Kebudayaan Dayak dalam Konteks Modern
DAYAK HARI INI; tajir, bersih, mengenakan pakaian motif Dayak dengan bangga, bermobil; kelas menangah --sangat beda dengan stereotipe dan gambaran masa lampau. Istimewa.

Peneliti: Masri Sareb Putra, M.A.
Tanggal rilis: 21 Juni 2025.

Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses aktualisasi dan transformasi identitas kebudayaan Dayak, dengan fokus pada konsensus penamaan "Dayak" sebagai istilah baku, perubahan narasi budaya melalui karya akademik dan literasi lokal, serta respons masyarakat Dayak terhadap tantangan era post-truth


Baca Valuasi Wilayah Adat Taman Sunsong: Kajian Ekonomi-Lingkungan


Penelitian ini mengacu pada buku Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (1994) yang disunting oleh Paulus Florus dan tim, serta berbagai pustaka terkait seperti karya Thambun Anyang (1996), Manusia Dayak (1993), Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok (1998), Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang (2018), dan Filsafat Dayak Komprehensif (2025). 


Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan metode analisis wacana dan etnografi sosial, mengintegrasikan perspektif antropologi budaya dan sosiologi narasi.


Penelitian ini relevan karena identitas Dayak tidak hanya merupakan warisan budaya, tetapi juga menjadi arena kontestasi narasi dalam konteks globalisasi dan digitalisasi. Pertanyaan utama yang dijawab adalah: Bagaimana masyarakat Dayak secara aktif mendefinisikan ulang identitas mereka melalui konsensus budaya, literasi, dan respons terhadap narasi bias di era post-truth?


Latar Belakang

Buku Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (1994) merupakan hasil seminar budaya internasional di Pontianak pada November 1992, yang dihadiri oleh sekitar 350 peserta dari Indonesia, Belanda, Prancis, serta Malaysia (Sabah dan Sarawak). Seminar ini menandai "tonggak baru" dalam sejarah identitas Dayak karena menetapkan istilah "Dayak" sebagai standar baku, mengakhiri variasi penulisan seperti Daya, Daya’, Dajaks, Dyaks, dan Dya. Konsensus ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi merefleksikan upaya kolektif untuk menegaskan identitas etnis asli Borneo di tengah narasi kolonial dan stigma negatif.


Baca Pengakuan Hutan Adat Tawang Panyai dan Dampak Sosial-Ekonomi di Tapang Sambas


Sebelumnya, istilah "Daya" dalam literatur Belanda mencerminkan adaptasi linguistik yang merujuk pada penghuni pedalaman Borneo. Namun, variasi ini sering kali disertai dengan narasi yang merendahkan, menggambarkan Dayak sebagai masyarakat primitif. Seminar 1992 menjadi titik balik untuk merebut kembali hak narasi, menegaskan bahwa identitas Dayak adalah hasil kesepakatan komunal, bukan konstruksi eksternal.


Selain itu, karya akademik seperti disertasi Thambun Anyang (1996) tentang masyarakat Taman di Kapuas Hulu menawarkan perspektif etnografi yang menantang stereotip. Thambun, yang kemudian menjadi profesor di Universitas Tanjungpura, menyoroti rumah panjang sebagai simbol kesatuan sosial dan kebijaksanaan budaya, bukan lingkungan yang tidak sehat seperti yang digambarkan oleh penulis luar. Publikasi seperti Manusia Dayak (1993) dan Filsafat Dayak Komprehensif (2025) juga menunjukkan bagaimana intelektual Dayak berperan aktif dalam mendefinisikan identitas mereka.


Baca Keanekaragaman Tanaman Obat di Wilayah Jangkang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat


Di era post-truth, tantangan baru muncul melalui penyebaran narasi bias di media sosial dan platform digital. Masyarakat Dayak merespons dengan memanfaatkan teknologi untuk mendokumentasikan budaya mereka, dari upacara adat hingga filosofi hidup, sekaligus meluruskan persepsi keliru. Penelitian ini mengkaji bagaimana proses ini mencerminkan dinamika aktualisasi dan transformasi identitas Dayak.


Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dua metode utama:

  1. Analisis Wacana: Mengkaji teks-teks seperti Kebudayaan Dayak (1994), disertasi Thambun Anyang (1996), dan pustaka lainnya untuk memahami bagaimana narasi tentang Dayak dibentuk dan ditransformasi. Analisis ini fokus pada perubahan framing dari narasi kolonial ke narasi lokal.

  2. Etnografi Sosial: Mengintegrasikan data dari observasi budaya Dayak (berbasis literatur sekunder) untuk memahami makna rumah panjang, konsensus penamaan, dan respons terhadap post-truth. Pendekatan ini mengacu pada karya Thambun Anyang dan publikasi Dayak modern.

Data dikumpulkan dari pustaka primer (buku dan disertasi) serta sekunder (artikel dan laporan seminar). Analisis dilakukan dengan triangulasi untuk memastikan validitas interpretasi.


Baca Kaya Batubara tapi Krisis Energi di Kalimantan


Hasil Penelitian

1. Konsensus Penamaan "Dayak" sebagai Tonggak Identitas

Seminar Nasional Kebudayaan Dayak 1992 di Pontianak menghasilkan kesepakatan untuk menggunakan istilah "Dayak" sebagai standar baku. Keputusan ini tidak hanya menyelesaikan keragaman penulisan, tetapi juga menegaskan otonomi budaya masyarakat asli Borneo. Proses ini mencerminkan apa yang disebut oleh Benedict Anderson sebagai "komunitas terbayang" (imagined community), di mana identitas kolektif dikonstruksi melalui kesepakatan simbolik.

Penetapan istilah "Dayak" juga memiliki implikasi politik. Dalam konteks pasca-kolonial, istilah ini menjadi alat untuk menolak narasi eksternal yang merendahkan. Seperti yang diungkapkan oleh literatur Belanda, istilah "Daya" sering dikaitkan dengan stigma primitivisme. Konsensus 1992 mengubah paradigma ini, menjadikan "Dayak" sebagai simbol kebanggaan dan kesatuan etnis.


2. Transformasi Narasi melalui Karya Akademik dan Literasi Lokal

Karya Thambun Anyang (1996) tentang masyarakat Taman menunjukkan bagaimana etnografi sosial dapat mengubah persepsi budaya. Dengan memfokuskan pada rumah panjang, Thambun menegaskan bahwa institusi ini bukan sekadar struktur fisik, tetapi pusat kehidupan komunal yang mencerminkan nilai-nilai kekerabatan dan kebijaksanaan leluhur. Pendekatan ini menantang narasi kolonial yang menggambarkan rumah panjang sebagai lingkungan yang tidak higienis.

Publikasi seperti Manusia Dayak (1993), Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok (1998), dan Filsafat Dayak Komprehensif (2025) memperkuat narasi dari dalam. Karya-karya ini ditulis oleh intelektual Dayak, menunjukkan bahwa masyarakat Dayak bukan objek pasif, tetapi subjek aktif dalam mendefinisikan identitas mereka. Proses ini sejalan dengan konsep self-representation dalam studi budaya, di mana kelompok marginal merebut hak untuk menceritakan kisah mereka sendiri.


Baca Nenas Krayan Manis dan Faktor-faktor Penyebabnya


3. Respons terhadap Era Post-Truth

Di era post-truth, narasi bias tentang Dayak—seperti penggambaran sebagai suku primitif atau penuh kekerasan—kerap muncul di media sosial. Masyarakat Dayak merespons dengan memanfaatkan teknologi digital untuk membangun narasi alternatif. Komunitas seperti Dayak Literacy Family menggunakan blog, media sosial, dan publikasi daring untuk mendokumentasikan budaya mereka, dari ritual adat hingga filosofi hidup.

Selain itu, seminar dan lokakarya ilmiah menjadi platform untuk menghasilkan narasi berbasis data. Upaya ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jürgen Habermas sebagai "ruang publik" (public sphere), di mana diskusi rasional menghasilkan konsensus berbasis fakta. Dengan demikian, masyarakat Dayak tidak hanya melawan post-truth, tetapi juga memperkuat identitas mereka dalam konteks global.


Diskusi

1. Konsensus Penamaan sebagai Dekolonisasi Narasi

Penetapan istilah "Dayak" pada 1992 dapat dilihat sebagai bentuk dekolonisasi narasi. Dalam teori pasca-kolonial, narasi kolonial sering kali mengkonstruksi "yang lain" (the Other) sebagai inferior. Istilah-istilah seperti "Daya" atau "Dyaks" dalam literatur kolonial membawa muatan peyoratif, menggambarkan Dayak sebagai masyarakat terbelakang. Konsensus 1992 menantang konstruksi ini, menegaskan bahwa identitas Dayak adalah produk kesadaran kolektif, bukan definisi eksternal.

Proses ini juga mencerminkan dinamika kekuasaan dalam penamaan. Seperti yang diungkapkan oleh Michel Foucault, penamaan adalah bentuk pengendalian wacana. Dengan menetapkan "Dayak" sebagai istilah baku, masyarakat Dayak merebut kembali kendali atas wacana identitas mereka. Namun, tantangan tetap ada: bagaimana memastikan bahwa konsensus ini diterima secara universal, terutama di kalangan non-Dayak yang masih menggunakan narasi lama?


2. Rumah Panjang sebagai Simbol Resistensi Budaya

Karya Thambun Anyang tentang rumah panjang menawarkan wawasan penting tentang resistensi budaya. Dalam antropologi simbolik Clifford Geertz, rumah panjang dapat dilihat sebagai "teks budaya" yang kaya makna. 


Baca Credit Union (CU) Lantang Tipo Salah Satu Pilar Ekonomi Kerakyatan Dayak di Kalimantan Barat


Bagi masyarakat Taman, rumah panjang bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga ruang sakral yang menghubungkan manusia, alam, dan leluhur. Narasi Thambun menantang pandangan fungsionalis yang melihat rumah panjang sebagai struktur primitif, menggantinya dengan interpretasi holistik yang menekankan nilai-nilai komunal.


Namun, transformasi narasi ini juga menghadapi dilema. Di satu sisi, rumah panjang tetap menjadi simbol identitas Dayak. Di sisi lain, modernisasi dan urbanisasi mengancam keberadaannya. Bagaimana masyarakat Dayak dapat mempertahankan makna rumah panjang dalam konteks modern tanpa terjebak dalam romantisisme budaya?


3. Literasi Dayak sebagai Tindakan Revolusioner

Pandangan bahwa "Dayak mati jika tidak menulis" menggemakan gagasan Tom Nichols tentang pentingnya publikasi dalam menjaga otoritas intelektual. Dalam konteks Dayak, menulis bukan sekadar aktivitas akademik, tetapi tindakan politik untuk merebut hak narasi. Seperti yang diungkapkan oleh Ngugi wa Thiong’o, menulis dalam perspektif lokal adalah bentuk "dekolonisasi pikiran." Karya-karya seperti Filsafat Dayak Komprehensif (2025) menunjukkan bahwa masyarakat Dayak mampu menghasilkan pemikiran filosofis yang tidak kalah dengan tradisi intelektual Barat.

Namun, literasi Dayak juga menghadapi tantangan struktural. Akses terhadap pendidikan tinggi dan penerbitan masih terbatas bagi banyak komunitas Dayak, terutama di daerah pedalaman. Selain itu, dominasi platform digital oleh narasi eksternal mempersulit penyebaran karya lokal. Untuk mengatasi ini, diperlukan strategi seperti pelatihan literasi digital dan kolaborasi dengan penerbit nasional.


4. Respons terhadap Post-Truth: Antara Peluang dan Ancaman

Era post-truth menawarkan peluang sekaligus ancaman bagi identitas Dayak. Di satu sisi, media sosial memungkinkan generasi muda Dayak untuk mendokumentasikan budaya mereka secara langsung, menciptakan apa yang disebut oleh Manuel Castells sebagai "jaringan komunikasi otonom." 


Di sisi lain, penyebaran narasi bias di platform digital memperkuat stereotip lama. Kasus-kasus seperti penggambaran Dayak sebagai "penuh kekerasan" di media sosial menunjukkan bagaimana post-truth dapat merusak citra budaya.

Respons masyarakat Dayak, seperti pembentukan komunitas Dayak Literacy Family, menunjukkan pendekatan proaktif. Namun, upaya ini perlu diperkuat dengan literasi media yang lebih luas, baik di kalangan Dayak maupun masyarakat umum. Selain itu, kolaborasi dengan akademisi dan jurnalis dapat membantu menghasilkan narasi berbasis fakta yang lebih kredibel.


5. Implikasi Global: Dayak dalam Percakapan Antarbudaya

Transformasi identitas Dayak memiliki implikasi di luar konteks lokal. Dalam era globalisasi, Dayak menjadi bagian dari percakapan antarbudaya tentang hak masyarakat adat. Seminar 1992, yang melibatkan peserta dari Belanda, Prancis, dan Malaysia, menunjukkan bahwa identitas Dayak memiliki relevansi internasional. Namun, untuk memperkuat posisi ini, masyarakat Dayak perlu terus menghasilkan karya yang dapat diakses oleh audiens global, seperti jurnal ilmiah atau dokumentasi digital dalam bahasa Inggris.


Tantangan utama adalah bagaimana menyeimbangkan pelestarian identitas lokal dengan adaptasi terhadap dinamika global. Seperti yang diungkapkan oleh Arjun Appadurai, globalisasi menciptakan "aliran budaya" (cultural flows) yang dapat memperkaya sekaligus mengancam identitas lokal. Masyarakat Dayak harus menavigasi aliran ini dengan cerdas, memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan akar budaya mereka.


Baca Alam dan Manusia sebagai Modal Dasar Pembangunan Krayan


Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak telah berhasil melakukan aktualisasi dan transformasi identitas melalui tiga strategi utama: konsensus penamaan "Dayak sebagai istilah baku" (1992), transformasi narasi melalui karya akademik dan literasi lokal, dan respons proaktif terhadap tantangan post-truth


Konsensus 1992 menegaskan otonomi budaya, karya seperti disertasi Thambun Anyang dan Filsafat Dayak Komprehensif  (2025) merebut hak narasi, dan upaya digital seperti Dayak Literacy Family memperkuat identitas di era modern.


Akan tetapi, tantangan seperti akses pendidikan, dominasi narasi eksternal, dan ancaman post-truth tetap ada. Untuk mengatasinya, masyarakat Dayak perlu memperluas literasi digital, berkolaborasi dengan aktor eksternal, dan terus menghasilkan karya yang relevan secara global. Menulis adalah bentuk eksistensi, dan hanya melalui narasi dari dalam Dayak dapat memastikan bahwa suara mereka abadi dalam percakapan budaya.


Rekomendasi

1) Penguatan Literasi Digital: Mengadakan pelatihan literasi media bagi generasi muda Dayak untuk menghasilkan konten budaya yang kredibel.

2) Kolaborasi Akademik: Meningkatkan publikasi ilmiah oleh intelektual Dayak di jurnal internasional untuk memperluas jangkauan narasi.

3) Pemeliharaan Arsip Budaya: Membuat database digital budaya Dayak yang di akses secara global untuk melawan narasi bias.

4) Edukasi Publik: Mengintegrasikan sejarah dan budayaan budaya Dayak dalam kurikulum sekolah nasional untuk mencegah stereotip.


Daftar Pustaka

  • Florus, P. (Ed.). (1994). Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: PT Grasindo.

  • Anyang, T. (1996). Disertasi tentang Masyarakat Taman. Nijmegen: Nijmegen University Press

  • Manusia Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi. (1993). Pontianak: Penerbit IDRD.

  • Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok. (1998). Jakarta: PT Grasindo.

  • Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang: Budaya Serumpun di Dataran Tinggi Borneo. (2018). Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.

  • Filsafat Dayak Komprehensif. (2025).Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.

  • Anderson, B. (1983). Imagined Communities. London: Verso.

  • Said, E. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.

  • Foucault, M. (1972). The Archaeology of Knowledge. New York: Pantheon Books.

  • Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

  • Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: MIT Press.

  • Nichols, T. (2017). The Death of Expertise. Oxford: Oxford University Press.

  • Castells, N. (1996). The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell.

  • Appadurai, A. (1996). Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama